Breaking News
Loading...
Saturday 7 March 2015

Info Post
Bukan rahasia lagi bahwa keempat Injil yang ada dalam al-Kitab yang menjadi kitab suci umat Kristiani dewasa ini bukanlah tulisan dari Isa al-Masih. Perjanjian Lama sendiri yang dikenal sekarang ini, secara historis sama sekali tidak bisa diketahui identitas penulisnya, orang hanya bisa menduga-duga saja dan menganggapnya sebagai fragmen sejarah yang direkam oleh para penulisnya berdasarkan bimbingan wahyu atau sekurang-kurangnya oleh Roh Kudus, dan sebagian dari mereka juga meyakini bahwa beberapa kitab dalam Perjanjian Lama adalah hasil penulisan dari Nabi Musa. Yang mana pendapat terakhir ini ternyata sudah banyak di-ingkari
oleh para sarjana Biblika sendiri.

Adapun kitab Perjanjian Baru yang terdiri dari empat Injil karangan Markus, Lukas, Matius dan Yohanes berikut surat-surat kiriman dan kesaksian Yohanes yang disebut sebagai kitab Wahyu bukanlah pula Injil yang telah diturunkan dan diajarkan oleh Nabi Isa sebagaimana yang dimaksud oleh al-Qur'an. Kitab Perjanjian Baru, khususnya empat Injil, penulisan dan keberadaannya lebih banyak sama dari sisi historisnya seperti kitab-kitab dalam Perjanjian Lama, yaitu merupakan fragmen sejarah yang ditulis oleh para penulis yang berbeda atas apa yang mereka ketahui seputar ajaran Nabi Isa dan hal-hal yang menyangkut perjalanan misi dakwah beliau ditengah Bani Israel. Sementara Injil dari Isa putera Maryam sendiri tidak dapat diketahui secara pasti keberadaannya, termasuk apakah sudah musnah dalam perjalanan sejarah ataukah ada dalam puluhan atau ratusan kitab-kitab yang disebut juga sebagai Injil-Injil Apokripa alias yang terlarang dan tidak diakui keabsahannya oleh pihak gereja.
 
Akan tetapi, lepas dari masalah diatas, umat Islam meyakini bahwa baik Taurat maupun Injil, keduanya sudah tidak lagi menjadi kebutuhan dalam hal penetapan hukum dan permasalahan keagamaan yang ada, sebab al-Qur'an yang dipercaya selaku wahyu terakhir kepada Nabi Muhammad Saw telah memberikan ketetapan-ketetapan hukum menyangkut masalah-masalah ritual ibadah maupun sosial kemasyarakatan diantara manusia. Tentang apakah nantinya pihak-pihak dari Yahudi atau Kristiani mengakui maupun menolaknya akhirnya menjadi sebuah konsekwensi logis dari sikap keberagamaan mereka tentang keimanan masing-masing. Tidaklah mungkin umat Yahudi mempercayai dogma Kristiani mengenai kenabian Isa al-Masih dan tidaklah mungkin pula umat Kristiani mempercayai dogma Islam mengenai kenabian Muhammad SAW.
 
Bangsa Yahudi menanggapi klaim-klaim yang terdapat dalam ajaran-ajaran al-Masih maupun yang ada didalam kitab Perjanjian Baru sebagai sebuah kebohongan besar yang disangkut-pautkan dengan berbagai cerita dan nubuat dalam kitab Perjanjian Lama, oleh karena itu dalam sejarah kita melihat mereka menolak pengakuan Isa al-Masih sebagai Rasul Allah, menyebutnya sebagai anak yang lahir dari hasil perzinahan dan puncak dari semua penolakan itu dengan melakukan pengejaran dan penyaliban Isa al-Masih dengan bantuan tentara Romawi. Tidak berbeda dengan umat Yahudi, maka umat Kristianipun akan menanggapi klaim-klaim yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad sebagai sebuah kebohongan yang disangkut-pautkan dengan cerita-cerita dan nubuat dalam kitab Perjanjian baru, sehingga bagi mereka, al-Qur'an dan Muhammad tidak layak diterima dalam posisi mereka sebagai wahyu dan Rasul dari Tuhan.

Umat Islam sendiri, sesuai dengan nash-nash yang mereka jumpai, secara defenitif menerima dan mengakui bahwa pada setiap jamannya, Allah senantiasa mengirimkan para utusan-Nya ditengah umat manusia, termasuklah dua diantaranya Musa dan Isa yang diutus bagi Bangsa Israel. Akibat logis darinya, maka semua klaim yang terdapat dalam kedua kitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, selama isinya tidak ada yang berlawanan dengan kitab al-Qur'an yang dipercaya sebagai wahyu yang menggenapi semua wahyu-wahyu sebelumnya, maka selama itupula al-Qur'an tidak mempermasalahkannya, namun sebaliknya, hal-hal yang memiliki perlawanan-perlawanan dalam tekstual al-Qur'an maka menjadi tertolakkan kebenarannya dengan argumentasi logis bahwa isinya sudah terdistorsi oleh perjalanan waktu. Hal inilah yang membuat al-Qur'an mengakui dirinya sebagai korektor dari isi kitab-kitab yang tersebar ditengah masyarakat sesuai isi dari surah al-Maaidah ayat 48 diatas.
 
Bagi kalangan Yahudi dan Kristiani, pernyataan al-Qur'an ini tentu saja dianggap terlalu mengada-ada dan dirasa menggelikan, namun kenyataan bahwa baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru kesejarahan penulisannya masih patut untuk dipertanyakan dan begitupula dengan kebenaran semua isinya membuat argumentasi al-Qur'an harusnya menjadi bahan pertimbangan logis bagi para pencari kebenaran.
 
Bahwa tidak tertutup kemungkinan semua atau sebagian dari data-data yang ada didalamnya merupakan rekayasa maupun hasil manipulasi selain kemungkinan unsur distorsi antara kenyataan dengan legenda yang keabsahannya tidak jelas dalam penulisan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagaimana hal ini pun terjadi dalam dunia Islam menyangkut otorisasi Sunnah dan Hadis Rasul. Orang tidak perlu menjadi seorang sejarawan ulung misalnya untuk bisa melihat seberapa jauh kebenaran klaim dari al-Qur'an terhadap kedua kitab yang dipercayai oleh umat-umat diatas. sebab dari sisi penterjemahan dari satu bahasa kebahasa yang lain saja dan bahkan dari satu tahun ketahun berikutnya terkadang terjadi penambahan maupun penghilangan kata yang berimplikasi terjadinya perbedaan arti dan pemahaman dalam ayat-ayat yang diklaim sebagai wahyu.
 
Perjalanan panjang sejarah manusia memang sering membuat nilai-nilai kebenaran wahyu yang ada menjadi terdistorsi, apalagi bila didalam sejarahnya, umat-umat yang terkait dengan turunnya wahyu itu terlibat didalam berbagai pertempuran dan konflik kepentingan nafsu pribadi. Sekali lagi, inilah namanya kausalitas, sebagaimana inipun bisa saja terjadi terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah yang dipercaya oleh umat Islam. Tetapi beruntung bahwa umat Islam disatu sisi, tetap menjaga originalitas wahyu-wahyu Tuhan dalam bentuk hafalan lisan yang selalu diulang-ulang dalam setiap ibadah mereka perharinya dan munculnya orang-orang yang sengaja menarik dirinya sebagai hafidz wahyu ilahi dari jaman kejamannya sehingga kejadian-kejadian yang timbul pada wahyu-wahyu sebelumnya bisa dihindari dan praktis pula, semua usaha pemalsuan, pendistorsian dalam bentuk apapun kedalamnya lebih cepat diketahui.
 
Kita tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa jika yang dimaksud sebagai originalitas wahyu itu terletak pada tulisannya, maka sejarah membuktikan bahwa penulisan al-Qur'an mengalami perubahan demi perubahan dalam menuju kesempurnaan tata bahasa yang ada pada peradaban manusia khususnya pada bahasa Arab, dimana huruf Arab mengalami perkembangan (ber-evolusi) dari sebelum ada tanda baca menjadi ada tanda bacanya, dari sebelum ada ditulis batas pemberhentian pembacaan menjadi ada batasnya dan seterusnya, misalnya, kata Ya'lamu dalam huruf Arab gundul, bisa dibaca Yu'limu, Yu'allimu, Yu'lamu maupun Yu'allamu yang membuatnya bisa berbeda arti. Karenanya yang dimaksud sebagai wahyu yang terjaga adalah isi, pesan keilmuan dan dan cara membaca dari al-Qur'an itu sendiri.
 
Menyangkut isi adalah tidak adanya perubahan dalam lafas, misalnya dari Allah melalui Jibril terus ke Muhammad dan dari Muhammad keumatnya perkataan : "Yaa Ayyuhannas" maka "Yaa Ayyuhannas" itulah yang tetap dilafashkan dan "Yaa Ayyuhannas" itu juga yang dihafalkan dan "Yaa Ayyuhannas" itupula yang dikonversi dalam bentuk tulisan sejak jaman kenabian sampai jaman sekarang ini, tidak malah diubah dari "Yaa Ayyuhannas" menjadi "Yaa Ayyunal-Insan" meskipun keduanya memiliki arti yang serupa, atau dari kata "Minal Jinnati Wannas" diubah menjadi " Minannas wal Jinni " meskipun sekali lagi keduanya tidak berbeda dari sisi arti.
 
Menyangkut pesan keilmuan misalnya tidak diubah ayat-ayat singkat yang ada pada beberapa awal surah ( Fawatihus Shuwar ) seperti Alif-Lam-Mim, Alif-Lam-Ro, Tho-Ha dan lain-lainnya, meskipun sebagaimana menjadi kepercayaan disebagian kalangan umat Islam bahwa ayat-ayat ini dianggap hanya Allah saja yang tahu, akan tetapi karena kuatnya niat untuk melestarikan dan menjaga originalitas wahyu, maka sekalipun mereka tidak mengerti, tetap saja dicantumkan sebagaimana ayat-ayat tersebut turun dan mendapatkan petunjuk peletakannya dari Nabi Muhammad.
 
Kemudian cara membaca, sangat ditekankan tidak ada perbedaan dari sisi lafasz atau pengucapan suatu ayat didalam al-Qur'an, sebab sekalipun dalam bahasa Arab, orang-orang Arab sendiri terkadang memiliki cara pengucapan (dialektika) yang berbeda satu dengan yang lain, samalah misalnya kalau di-Indonesia ini beda orang Medan dengan orang diluarnya untuk penyebutan beberapa kalimat yang sama dalam bahasa Indonesia tetapi lafalnya bisa berbeda, seperti pengucapan kata " celakalah kau ", orang Medan akan menyebut huru "e" sesudah "c" dan sebelum "l" seperti kita mengucapkan kata setan, tetapi orang diluarnya akan menyebut kata itu seperti kita menyebut kata celana yang mana, salah satunya karena faktor inilah akhirnya membuat Khalifah Usman bin Affan melakukan keseragaman mushaf al-Qur'an dimasa pemerintahan beliau sehingga tidak ada kekeliruan cara membaca yang bisa membawa kepada perpecahan dikemudian hari terhadap al-Qur'an dengan mengambil dialek suku Quraisy sebagaimana dialek itu juga yang dipakai oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya dalam membaca wahyu tersebut.
 
Dengan demikian, itulah yang dimaksudkan bahwa wahyu al-Qur'an selamat dari semua kedistorsian manusia dan perjalanan masa semenjak turunnya kepada Rasul sampai kepada kita sekarang ini, dalam dunia Sunnahpun, meski nasibnya tidak seberuntung al-Qur'an dalam hal penjagaan originalitasnya, tetapi setidaknya umat Islam memiliki ilmu-ilmu dan standar-standar baku untuk menentukan dan menyaring apakah suatu sunnah atau hadis memang bisa diterima sebagai teladan dan petunjuk dari Rasul atau bukan disamping adanya beberapa jemaah juga yang secara ketat menjaga sunnah ataupun hadis berdasar nasab Rasul.
 
Hal yang sama tidak dilakukan oleh umat-umat lain diluar Islam terhadap apa yang diklaimkan mereka sebagai wahyu dan tradisi, khususnya dari masa dimana tokoh-tokoh penerima wahyu dan penyampai ajaran itu masih hidup atau sekurang-kurangnya dari satu generasi sesudahnya, sehingga jadilah kitab-kitab itu memiliki kontradiksi-kontradiksi yang sulit dijawab oleh pemeluknya bahkan oleh para pemuka agama mereka masing-masing. Bart D. Ehrman, seorang pakar Perjanjian Baru dalam bukunya "Misquoting Jesus : Kesalahan penyalinan dalam kitab suci perjanjian baru : Kisah dibalik siapa yang mengubah alkitab dan apa alasannya" menjelaskan begitu banyak bukti empiris yang sangat tidak bisa dibantah lagi bila isi-isi dari kitab perjanjian baru yang ada sekarang sudah banyak mengalami perubahan, mulai dari penambahan, pengurangan sampai kesalahan penterjemahannya, baik itu dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.
 
Beberapa contoh diungkapkan Bart D. Ehrman adalah tentang kisah Isa al-Masih yang diuji oleh orang-orang Yahudi menyangkut status wanita yang telah berzina dalam kitab Injil Yohanes pasal 7 ayat 53 sampai pasal 8 ayat 11 dan juga dua belas ayat terakhir dari Injil Markus yang menurutnya sama sekali tidak ditemui dalam manuskripnya yang paling tua, hal yang sama juga terjadi pada Kitab 1 Yohanes pasal 5 ayat 7 sampai 8 yang menceritakan secara vulgar mengenai Trinitas pada dasarnya tidak memiliki rujukan dari manuskrip aslinya berbahasa Vulgata Latin yang menjadi acuan penterjemahan.
 
Bart D. Ehrman menyajikan fakta yang ada secara obyektif dan berimbang, misalnya dia juga mengutip keberatan-keberatan beberapa pihak atas kritik naskah yang dilakukan terhadap kitab suci umat Kristiani itu dan mengembalikannya kepada tradisi Rasuli (yang dalam hal ini adalah Gereja Katolik Roma) yang secara tidak langsung juga membuktikan bahwa kitab-kitab dalam Perjanjian Baru memang tidak di-ingkari sudah banyak mengalami distorsi oleh manusia. Bagaimanapun, seperti yang ditulis oleh Bart D. Ehrman sendiri, bahwa kitab-kitab yang disebut Injil (baik itu yang kanonik ataupun apokripa) ditulis berdasarkan cerita-cerita lisan yang berkembang dimasyarakat waktu itu mengenai pribadi Isa al-Masih. Kristen Protestan dengan reformasi Sola Scripturanya telah menolak 7 kitab yang ada didalam al-kitab dengan dasar bahwa ke-7 nya adalah kitab-kitab palsu.

Tahun 1707, John Mill seorang cendikiawan kehormatan dari Queens College, Oxford menerbitkan sebuah edisi Perjanjian Baru berdasarkan sekitar seratus manuskrip bahasa Yunani yang berbeda satu dengan lain dan juga membuat sebuah aparatus kritik (daftar perbedaan) lengkap dengan hasil penelitian beliau seputar tulisan-tulisan para bapa gereja perdana untuk melihat bagaimana mereka mengutip naskah-naskah itu. Mill disana telah memaparkan bahwa ada tiga puluh ribu perbedaan diantara bukti-bukti yang masih ada dimana manuskrip-manuskrip, kutipan-kutipan Bapa gereja, serta versi-versi yang mengandung bagian-bagian yang berbeda untuk bagian-bagian Perjanjian Baru.
 
Fakta yang dikemukakan oleh John Mill ini cukup menyadarkan umat Kristen yang terlena oleh penerbitan ulang terus menerus Textus Receptus (T.R) dan masih menganggap bahwa T.R. berisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang asli. Sekarang status naskah asli sudah terbuka lebar untuk diperdebatkan, jika kata-kata asli dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani tidak diketahui, bagaimana mungkin doktrin dan ajaran Kristen yang benar bisa ditentukan ] Atas dasar itu juga maka Daniel Whitby, seorang teolog Protestan konservatif pada tahun 1710 menerbitkan catatan penafsiran Perjanjian Baru yang disertai apendiks seratus halaman berisi keterangan yang terperinci mengenai perbedaan yang ditampilkan dalam Aparatus Mill. Disatu sisi lainnya, Daniel Whitby sendiri tidak menolak akan adanya kesalahan penyalinan naskah Perjanjian Baru. Selanjutnya pada tahun 1716, Richard Bentley mengirimkan surat kepada uskup agung Wake tentang rencananya untuk membuat Perjanjian Baru edisi baru dengan mengambil terjemahan seotentik mungkin dari manuskrip yang ada pada masa Konsili Nicea (awal abad ke-4), salah satu kesimpulan Bentley untuk membuat Perjanjian Baru yang baru adalah dengan mengambil 2000 kesalahan dari Vulgata milik Paus dan jumlah kesalahan yang sama dari edisi Stephen milik Paus Protestan (yaitu edisi Stephanus -T.R), dia mengatakan bisa mulai membuat edisi yang berisi kedua edisi tersebut dalam dua kolom tanpa menggunakan buku apapun yang berusia dibawal 900 tahun, yang kata demi katanya akan sama... sehingga hanya dua ratus dari ribuan bagian itu yang perlu ditimbangkan.
 
Artinya, Bentley mengurangi 30.000 perbedaan John Mill menjadi 200 perbedaan tetapi sayang bahwa rencana Bentley ini tidak terwujudkan sampai kematiannya. Lebih ekstrim lagi, sekte kesaksian Yehovah seperti yang dikutip oleh almarhum Ahmad Deedat dari majalah Awake 08 September 1957 secara transparan menyatakan bahwa didalam Al-kitab sekarang terdapat 50.000 kesalahan atau manipulasi

Sungguh, benarlah kiranya pernyataan al-Qur’an berikut : Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya:"Ini dari Allah" - Qs. 2 al-Baqarah: 79

Dalam salah satu diskusi yang pernah terjadi disalah satu milis di Internet ketika membahas tentang adanya penambahan maupun pengurangan 12 ayat terakhir di Injil Markus serta ayat perzinahan dalam Injil Yohanes, salah seorang rekan dari Kristiani pernah mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan itu bukan hal yang prinsipil dalam doktriner kekristenan. Para Uskup membiarkan bagian ini dimasukkan kedalam naskah aslinya karena mereka mengetahui didalam kenyataan bahwa apa yang dikatakan oleh bagian yang ditambahkan itu benar adanya dan sesuai dengan harmoni Injil secara keseluruhan. Adapun mengenai tambahan pada Injil Yohanes adalah karena adanya tekanan moral dalam cerita tersebut tentang pengampunan Isa terhadap orang yang berdosa, karenanya lagi-lagi para uskup gereja perdana memasukkan bagian tersebut kedalam naskah asli Injil Yohanes.
 
Kita sangat tidak sepakat dengan hal ini, sebab argumen tersebut hanyalah sebuah tindakan pembenaran saja atas adanya intervensi atau campur tangan manusia kedalam wahyu yang sudah diberikan oleh Tuhan untuk ditulis menjadi kitab suci, alibi yang demikian tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Apalagi didalam Kitab Wahyu pasal 22 ayat 18 dan 19 jelas disebutkan :
 
Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.
 
Bagaimanapun pada akhirnya bentuk pengubahan atau penyusupan, penambahan maupun pengurangan cerita-cerita diluar pewahyuan kedalam kitab suci seperti yang terjadi pada naskah Injil Markus dan Injil Yohanes, sama artinya dengan menganggap wahyu Tuhan tidak sempurna di-ilhamkan dan menjadi kecacatan tersendiri dari sidang Nicea yang telah menerima naskah dari kedua Injil tersebut saat kanonisasi atau peresmiannya sebagai kitab suci dikalangan masyarakat Kristiani.
 
Terlepas dari campur tangan manusia kedalam naskah asli 12 ayat terakhir dari Injil Markus dan Yohanes, kita bisa mengajukan juga contoh lain dari bentuk intervensi manusia kedalam naskah-naskah Injil sehingga menambah pertanyaan ulang atas autentisitasnya selaku kitab suci dari ilahiah. Contoh tersebut kita ambil dari pasal 9 ayat 29 dari naskah Injil Markus berdasar sejumlah versi al-Kitab yang ada dan diakui secara resmi oleh dunia Kristen Internasional.
Tampak dari perbandingan sejumlah versi dan terjemahan yang ada, beberapa darinya menyebutkan bagian terakhir dari ayat tersebut ditulis hanya berdoa saja atau prayer tetapi dibeberapa terjemahan lainnya ada penambahan prayer and fasting atau berdoa dan berpuasa atau dalam al-kitab berbahasa Arabnya ditulis "Bissholati Wassaumi". Perbedaan ini pastilah memang salah satunya ada yang dikurangi atau salah satunya pasti ada yang ditambahkan ! Jika kita berbicara mengenai moralitas, maka apakah orang yang dengan berani menambah, merubah atau mengurangi firman Tuhan, adalah orang yang bermoral baik ? Bisakah diterima alasan moral kepada orang yang secara tidak langsung menyatakan Tuhan telah tidak lengkap menginspirasikan firman-Nya untuk dikanonisasi orang-orang pilihan-Nya di Nicea sehingga dia merasa lebih baik dari Tuhan dengan cara menambal kekurangan Tuhan?
 
Lalu, masih salahkah bila kemudian dengan berani al-Qur’an menyatakan bahwa wahyu-wahyu yang pernah diturunkan kepada manusia sebelumnya telah berubah dan mengalami intervensi tangan manusia sehingga merubah derajat keaslian dan kesuciannya ? Sekali lagi disini kita tidak bermaksud untuk melecehkan keyakinan agama lain, namun kita mencoba mengajak untuk bisa berpikir jernih dan jujur. Kebenaran harus diungkapkan melalui pembuktian yang juga benar agar kebenaran yang memang hendak disampaikan tadi tidak sekedar pembenaran ataupun tuduhan semata.
 
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka manfa'atnya bagi diri sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya." - Qs. 6 al-An'am :104

0 komentar:

Post a Comment