Bukan rahasia lagi bahwa keempat Injil
yang ada dalam al-Kitab yang menjadi kitab suci umat Kristiani dewasa ini
bukanlah tulisan dari Isa al-Masih. Perjanjian Lama sendiri yang dikenal
sekarang ini, secara historis sama sekali tidak bisa diketahui identitas
penulisnya, orang hanya bisa menduga-duga saja dan menganggapnya sebagai fragmen
sejarah yang direkam oleh para penulisnya berdasarkan bimbingan wahyu atau
sekurang-kurangnya oleh Roh Kudus, dan sebagian dari mereka juga meyakini bahwa beberapa kitab dalam Perjanjian Lama adalah hasil penulisan dari
Nabi Musa. Yang mana pendapat terakhir ini ternyata sudah banyak di-ingkari
oleh para sarjana Biblika sendiri.
oleh para sarjana Biblika sendiri.
Adapun kitab Perjanjian
Baru yang terdiri dari empat Injil karangan Markus, Lukas, Matius dan Yohanes
berikut surat-surat kiriman dan kesaksian Yohanes yang disebut sebagai kitab
Wahyu bukanlah pula Injil yang telah diturunkan dan diajarkan oleh Nabi Isa
sebagaimana yang dimaksud oleh al-Qur'an. Kitab Perjanjian Baru, khususnya empat
Injil, penulisan dan keberadaannya lebih banyak sama dari sisi historisnya
seperti kitab-kitab dalam Perjanjian Lama, yaitu merupakan fragmen sejarah yang
ditulis oleh para penulis yang berbeda atas apa yang mereka ketahui seputar
ajaran Nabi Isa dan hal-hal yang menyangkut perjalanan misi dakwah beliau
ditengah Bani Israel. Sementara Injil dari Isa putera Maryam sendiri tidak dapat
diketahui secara pasti keberadaannya, termasuk apakah sudah musnah dalam
perjalanan sejarah ataukah ada dalam puluhan atau ratusan kitab-kitab yang
disebut juga sebagai Injil-Injil Apokripa alias yang terlarang dan tidak diakui
keabsahannya oleh pihak gereja.
Akan tetapi, lepas dari
masalah diatas, umat Islam meyakini bahwa baik Taurat maupun Injil, keduanya
sudah tidak lagi menjadi kebutuhan dalam hal penetapan hukum dan permasalahan
keagamaan yang ada, sebab al-Qur'an yang dipercaya selaku wahyu terakhir kepada
Nabi Muhammad Saw telah memberikan ketetapan-ketetapan hukum menyangkut
masalah-masalah ritual ibadah maupun sosial kemasyarakatan diantara manusia.
Tentang apakah nantinya pihak-pihak dari Yahudi atau Kristiani mengakui maupun
menolaknya akhirnya menjadi sebuah konsekwensi logis dari sikap keberagamaan
mereka tentang keimanan masing-masing. Tidaklah mungkin umat Yahudi mempercayai
dogma Kristiani mengenai kenabian Isa al-Masih dan tidaklah mungkin pula umat
Kristiani mempercayai dogma Islam mengenai kenabian Muhammad
SAW.
Bangsa Yahudi menanggapi
klaim-klaim yang terdapat dalam ajaran-ajaran al-Masih maupun yang ada didalam
kitab Perjanjian Baru sebagai sebuah kebohongan besar yang disangkut-pautkan
dengan berbagai cerita dan nubuat dalam kitab Perjanjian Lama, oleh karena itu
dalam sejarah kita melihat mereka menolak pengakuan Isa al-Masih sebagai Rasul
Allah, menyebutnya sebagai anak yang lahir dari hasil perzinahan dan puncak dari
semua penolakan itu dengan melakukan pengejaran dan penyaliban Isa al-Masih
dengan bantuan tentara Romawi. Tidak berbeda dengan umat Yahudi, maka umat
Kristianipun akan menanggapi klaim-klaim yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad sebagai sebuah kebohongan yang
disangkut-pautkan dengan cerita-cerita dan nubuat dalam kitab Perjanjian baru,
sehingga bagi mereka, al-Qur'an dan Muhammad tidak layak diterima dalam posisi
mereka sebagai wahyu dan Rasul dari Tuhan.
Umat Islam sendiri, sesuai
dengan nash-nash yang mereka jumpai, secara defenitif menerima dan mengakui
bahwa pada setiap jamannya, Allah senantiasa mengirimkan para utusan-Nya
ditengah umat manusia, termasuklah dua diantaranya Musa dan Isa yang diutus bagi
Bangsa Israel. Akibat logis darinya, maka semua klaim yang terdapat dalam kedua
kitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, selama isinya tidak ada yang
berlawanan dengan kitab al-Qur'an yang dipercaya sebagai wahyu yang menggenapi
semua wahyu-wahyu sebelumnya, maka selama itupula al-Qur'an tidak
mempermasalahkannya, namun sebaliknya, hal-hal yang memiliki
perlawanan-perlawanan dalam tekstual al-Qur'an maka menjadi tertolakkan
kebenarannya dengan argumentasi logis bahwa isinya sudah terdistorsi oleh
perjalanan waktu. Hal inilah yang membuat al-Qur'an mengakui dirinya sebagai
korektor dari isi kitab-kitab yang tersebar ditengah masyarakat sesuai isi dari
surah al-Maaidah ayat 48 diatas.
Bagi kalangan Yahudi dan
Kristiani, pernyataan al-Qur'an ini tentu saja dianggap terlalu mengada-ada dan
dirasa menggelikan, namun kenyataan bahwa baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru kesejarahan penulisannya masih patut untuk dipertanyakan dan begitupula
dengan kebenaran semua isinya membuat argumentasi al-Qur'an harusnya menjadi
bahan pertimbangan logis bagi para pencari kebenaran.
Bahwa tidak tertutup
kemungkinan semua atau sebagian dari data-data yang ada didalamnya merupakan
rekayasa maupun hasil manipulasi selain kemungkinan unsur distorsi antara
kenyataan dengan legenda yang keabsahannya tidak jelas dalam penulisan kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagaimana hal ini pun terjadi dalam dunia
Islam menyangkut otorisasi Sunnah dan Hadis Rasul. Orang tidak perlu menjadi
seorang sejarawan ulung misalnya untuk bisa melihat seberapa jauh kebenaran
klaim dari al-Qur'an terhadap kedua kitab yang dipercayai oleh umat-umat diatas.
sebab dari sisi penterjemahan dari satu bahasa kebahasa yang lain saja dan
bahkan dari satu tahun ketahun berikutnya terkadang terjadi penambahan maupun
penghilangan kata yang berimplikasi terjadinya perbedaan arti dan pemahaman
dalam ayat-ayat yang diklaim sebagai wahyu.
Perjalanan panjang sejarah
manusia memang sering membuat nilai-nilai kebenaran wahyu yang ada menjadi
terdistorsi, apalagi bila didalam sejarahnya, umat-umat yang terkait dengan
turunnya wahyu itu terlibat didalam berbagai pertempuran dan konflik kepentingan
nafsu pribadi. Sekali lagi, inilah namanya kausalitas, sebagaimana inipun bisa
saja terjadi terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah yang dipercaya oleh umat Islam.
Tetapi beruntung bahwa umat Islam disatu sisi, tetap menjaga originalitas
wahyu-wahyu Tuhan dalam bentuk hafalan lisan yang selalu diulang-ulang dalam
setiap ibadah mereka perharinya dan munculnya orang-orang yang sengaja menarik
dirinya sebagai hafidz wahyu ilahi dari jaman kejamannya sehingga
kejadian-kejadian yang timbul pada wahyu-wahyu sebelumnya bisa dihindari dan
praktis pula, semua usaha pemalsuan, pendistorsian dalam bentuk apapun
kedalamnya lebih cepat diketahui.
Kita tidak bisa mengelak
dari kenyataan bahwa jika yang dimaksud sebagai originalitas wahyu itu terletak
pada tulisannya, maka sejarah membuktikan bahwa penulisan al-Qur'an mengalami
perubahan demi perubahan dalam menuju kesempurnaan tata bahasa yang ada pada
peradaban manusia khususnya pada bahasa Arab, dimana huruf Arab mengalami
perkembangan (ber-evolusi) dari sebelum ada tanda baca menjadi ada tanda
bacanya, dari sebelum ada ditulis batas pemberhentian pembacaan menjadi ada
batasnya dan seterusnya, misalnya, kata Ya'lamu dalam huruf Arab gundul,
bisa dibaca Yu'limu, Yu'allimu, Yu'lamu maupun Yu'allamu yang
membuatnya bisa berbeda arti. Karenanya yang dimaksud sebagai wahyu yang terjaga
adalah isi, pesan keilmuan dan dan cara membaca dari al-Qur'an itu
sendiri.
Menyangkut isi adalah
tidak adanya perubahan dalam lafas, misalnya dari Allah melalui Jibril terus ke
Muhammad dan dari Muhammad keumatnya perkataan : "Yaa Ayyuhannas" maka
"Yaa Ayyuhannas" itulah yang tetap dilafashkan dan "Yaa
Ayyuhannas" itu juga yang dihafalkan dan "Yaa Ayyuhannas" itupula
yang dikonversi dalam bentuk tulisan sejak jaman kenabian sampai jaman sekarang
ini, tidak malah diubah dari "Yaa Ayyuhannas" menjadi "Yaa
Ayyunal-Insan" meskipun keduanya memiliki arti yang serupa, atau dari kata
"Minal Jinnati Wannas" diubah menjadi " Minannas wal Jinni " meskipun
sekali lagi keduanya tidak berbeda dari sisi arti.
Menyangkut pesan keilmuan
misalnya tidak diubah ayat-ayat singkat yang ada pada beberapa awal surah (
Fawatihus Shuwar ) seperti Alif-Lam-Mim, Alif-Lam-Ro, Tho-Ha dan
lain-lainnya, meskipun sebagaimana menjadi kepercayaan disebagian kalangan umat
Islam bahwa ayat-ayat ini dianggap hanya Allah saja yang tahu, akan tetapi
karena kuatnya niat untuk melestarikan dan menjaga originalitas wahyu, maka
sekalipun mereka tidak mengerti, tetap saja dicantumkan sebagaimana ayat-ayat
tersebut turun dan mendapatkan petunjuk peletakannya dari Nabi
Muhammad.
Kemudian cara membaca,
sangat ditekankan tidak ada perbedaan dari sisi lafasz atau pengucapan suatu
ayat didalam al-Qur'an, sebab sekalipun dalam bahasa Arab, orang-orang Arab
sendiri terkadang memiliki cara pengucapan (dialektika) yang berbeda satu dengan
yang lain, samalah misalnya kalau di-Indonesia ini beda orang Medan dengan orang
diluarnya untuk penyebutan beberapa kalimat yang sama dalam bahasa Indonesia
tetapi lafalnya bisa berbeda, seperti pengucapan kata " celakalah kau ", orang
Medan akan menyebut huru "e" sesudah "c" dan sebelum "l" seperti kita
mengucapkan kata setan, tetapi orang diluarnya akan menyebut kata itu
seperti kita menyebut kata celana yang mana, salah satunya karena faktor
inilah akhirnya membuat Khalifah Usman bin Affan melakukan keseragaman mushaf
al-Qur'an dimasa pemerintahan beliau sehingga tidak ada kekeliruan cara membaca
yang bisa membawa kepada perpecahan dikemudian hari terhadap al-Qur'an dengan
mengambil dialek suku Quraisy sebagaimana dialek itu juga yang dipakai oleh Nabi
Muhammad semasa hidupnya dalam membaca wahyu tersebut.
Dengan demikian, itulah
yang dimaksudkan bahwa wahyu al-Qur'an selamat dari semua kedistorsian manusia
dan perjalanan masa semenjak turunnya kepada Rasul sampai kepada kita sekarang
ini, dalam dunia Sunnahpun, meski nasibnya tidak seberuntung al-Qur'an dalam hal
penjagaan originalitasnya, tetapi setidaknya umat Islam memiliki ilmu-ilmu dan
standar-standar baku untuk menentukan dan menyaring apakah suatu sunnah atau
hadis memang bisa diterima sebagai teladan dan petunjuk dari Rasul atau bukan
disamping adanya beberapa jemaah juga yang secara ketat menjaga sunnah ataupun
hadis berdasar nasab Rasul.
Hal yang sama tidak
dilakukan oleh umat-umat lain diluar Islam terhadap apa yang diklaimkan mereka
sebagai wahyu dan tradisi, khususnya dari masa dimana tokoh-tokoh penerima wahyu
dan penyampai ajaran itu masih hidup atau sekurang-kurangnya dari satu generasi
sesudahnya, sehingga jadilah kitab-kitab itu memiliki kontradiksi-kontradiksi
yang sulit dijawab oleh pemeluknya bahkan oleh para pemuka agama mereka
masing-masing. Bart D. Ehrman, seorang pakar Perjanjian Baru dalam bukunya
"Misquoting Jesus : Kesalahan penyalinan dalam kitab suci perjanjian baru :
Kisah dibalik siapa yang mengubah alkitab dan apa alasannya" menjelaskan
begitu banyak bukti empiris yang sangat tidak bisa dibantah lagi bila isi-isi
dari kitab perjanjian baru yang ada sekarang sudah banyak mengalami perubahan,
mulai dari penambahan, pengurangan sampai kesalahan penterjemahannya, baik itu
dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.
Beberapa contoh
diungkapkan Bart D. Ehrman adalah tentang kisah Isa al-Masih yang diuji oleh
orang-orang Yahudi menyangkut status wanita yang telah berzina dalam kitab Injil
Yohanes pasal 7 ayat 53 sampai pasal 8 ayat 11 dan juga dua belas ayat terakhir
dari Injil Markus yang menurutnya sama sekali tidak ditemui dalam manuskripnya
yang paling tua, hal yang sama juga terjadi pada Kitab 1 Yohanes pasal 5 ayat 7
sampai 8 yang menceritakan secara vulgar mengenai Trinitas pada dasarnya tidak
memiliki rujukan dari manuskrip aslinya berbahasa Vulgata Latin yang menjadi
acuan penterjemahan.
Bart D. Ehrman menyajikan
fakta yang ada secara obyektif dan berimbang, misalnya dia juga mengutip
keberatan-keberatan beberapa pihak atas kritik naskah yang dilakukan terhadap
kitab suci umat Kristiani itu dan mengembalikannya kepada tradisi Rasuli (yang
dalam hal ini adalah Gereja Katolik Roma) yang secara tidak langsung juga
membuktikan bahwa kitab-kitab dalam Perjanjian Baru memang tidak di-ingkari
sudah banyak mengalami distorsi oleh manusia. Bagaimanapun, seperti yang ditulis
oleh Bart D. Ehrman sendiri, bahwa kitab-kitab yang disebut Injil (baik itu yang
kanonik ataupun apokripa) ditulis berdasarkan cerita-cerita lisan yang
berkembang dimasyarakat waktu itu mengenai pribadi Isa al-Masih. Kristen
Protestan dengan reformasi Sola Scripturanya telah menolak 7 kitab yang
ada didalam al-kitab dengan dasar bahwa ke-7 nya adalah kitab-kitab
palsu.
Tahun 1707, John Mill
seorang cendikiawan kehormatan dari Queens College, Oxford menerbitkan
sebuah edisi Perjanjian Baru berdasarkan sekitar seratus manuskrip bahasa Yunani
yang berbeda satu dengan lain dan juga membuat sebuah aparatus kritik (daftar
perbedaan) lengkap dengan hasil penelitian beliau seputar tulisan-tulisan para
bapa gereja perdana untuk melihat bagaimana mereka mengutip naskah-naskah itu.
Mill disana telah memaparkan bahwa ada tiga puluh ribu perbedaan diantara
bukti-bukti yang masih ada dimana manuskrip-manuskrip, kutipan-kutipan Bapa
gereja, serta versi-versi yang mengandung bagian-bagian yang berbeda untuk
bagian-bagian Perjanjian Baru.
Fakta yang dikemukakan
oleh John Mill ini cukup menyadarkan umat Kristen yang terlena oleh penerbitan
ulang terus menerus Textus Receptus (T.R) dan masih menganggap bahwa T.R.
berisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang asli. Sekarang status naskah asli
sudah terbuka lebar untuk diperdebatkan, jika kata-kata asli dalam Perjanjian
Baru bahasa Yunani tidak diketahui, bagaimana mungkin doktrin dan ajaran Kristen
yang benar bisa ditentukan ] Atas dasar itu juga maka Daniel Whitby, seorang teolog Protestan
konservatif pada tahun 1710 menerbitkan catatan penafsiran Perjanjian Baru yang
disertai apendiks seratus halaman berisi keterangan yang terperinci mengenai
perbedaan yang ditampilkan dalam Aparatus Mill. Disatu sisi lainnya, Daniel
Whitby sendiri tidak menolak akan adanya kesalahan penyalinan naskah Perjanjian
Baru. Selanjutnya pada tahun 1716, Richard Bentley mengirimkan surat kepada
uskup agung Wake tentang rencananya untuk membuat Perjanjian Baru edisi baru
dengan mengambil terjemahan seotentik mungkin dari manuskrip yang ada pada masa
Konsili Nicea (awal abad ke-4), salah satu kesimpulan Bentley untuk membuat
Perjanjian Baru yang baru adalah dengan mengambil 2000 kesalahan dari Vulgata
milik Paus dan jumlah kesalahan yang sama dari edisi Stephen milik Paus
Protestan (yaitu edisi Stephanus -T.R), dia mengatakan bisa mulai membuat edisi
yang berisi kedua edisi tersebut dalam dua kolom tanpa menggunakan buku apapun
yang berusia dibawal 900 tahun, yang kata demi katanya akan sama... sehingga
hanya dua ratus dari ribuan bagian itu yang perlu ditimbangkan.
Artinya, Bentley
mengurangi 30.000 perbedaan John Mill menjadi 200 perbedaan tetapi sayang bahwa
rencana Bentley ini tidak terwujudkan sampai kematiannya. Lebih ekstrim lagi, sekte
kesaksian Yehovah seperti yang dikutip oleh almarhum Ahmad Deedat dari majalah
Awake 08 September 1957 secara transparan menyatakan bahwa didalam Al-kitab
sekarang terdapat 50.000 kesalahan atau manipulasi
Sungguh, benarlah kiranya pernyataan
al-Qur’an berikut : Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya:"Ini dari Allah" -
Qs. 2 al-Baqarah: 79
Dalam salah satu diskusi
yang pernah terjadi disalah satu milis di Internet ketika membahas tentang
adanya penambahan maupun pengurangan 12 ayat terakhir di Injil Markus serta ayat
perzinahan dalam Injil Yohanes, salah seorang rekan dari Kristiani pernah
mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan itu bukan hal yang prinsipil dalam
doktriner kekristenan. Para Uskup membiarkan bagian ini dimasukkan kedalam
naskah aslinya karena mereka mengetahui didalam kenyataan bahwa apa yang
dikatakan oleh bagian yang ditambahkan itu benar adanya dan sesuai dengan
harmoni Injil secara keseluruhan. Adapun mengenai tambahan pada Injil Yohanes
adalah karena adanya tekanan moral dalam cerita tersebut tentang pengampunan Isa
terhadap orang yang berdosa, karenanya lagi-lagi para uskup gereja perdana
memasukkan bagian tersebut kedalam naskah asli Injil Yohanes.
Kita sangat tidak sepakat
dengan hal ini, sebab argumen tersebut hanyalah sebuah tindakan pembenaran saja
atas adanya intervensi atau campur tangan manusia kedalam wahyu yang sudah
diberikan oleh Tuhan untuk ditulis menjadi kitab suci, alibi yang demikian tidak
bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Apalagi didalam Kitab Wahyu pasal 22
ayat 18 dan 19 jelas disebutkan :
Jika seorang menambahkan sesuatu kepada
perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya
malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang
mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah
akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang
tertulis di dalam kitab ini.
Bagaimanapun pada akhirnya
bentuk pengubahan atau penyusupan, penambahan maupun pengurangan cerita-cerita
diluar pewahyuan kedalam kitab suci seperti yang terjadi pada naskah Injil
Markus dan Injil Yohanes, sama artinya dengan menganggap wahyu Tuhan tidak
sempurna di-ilhamkan dan menjadi kecacatan tersendiri dari sidang Nicea yang
telah menerima naskah dari kedua Injil tersebut saat kanonisasi atau
peresmiannya sebagai kitab suci dikalangan masyarakat Kristiani.
Terlepas dari campur
tangan manusia kedalam naskah asli 12 ayat terakhir dari Injil Markus dan
Yohanes, kita bisa mengajukan juga contoh lain dari bentuk intervensi manusia
kedalam naskah-naskah Injil sehingga menambah pertanyaan ulang atas
autentisitasnya selaku kitab suci dari ilahiah. Contoh tersebut kita ambil dari
pasal 9 ayat 29 dari naskah Injil Markus berdasar sejumlah versi al-Kitab yang
ada dan diakui secara resmi oleh dunia Kristen Internasional.
Tampak dari perbandingan sejumlah
versi dan terjemahan yang ada, beberapa darinya menyebutkan bagian terakhir dari
ayat tersebut ditulis hanya berdoa saja atau prayer tetapi
dibeberapa terjemahan lainnya ada penambahan prayer and fasting atau
berdoa dan berpuasa atau dalam al-kitab berbahasa Arabnya ditulis
"Bissholati Wassaumi". Perbedaan ini pastilah memang salah satunya ada
yang dikurangi atau salah satunya pasti ada yang ditambahkan ! Jika kita
berbicara mengenai moralitas, maka apakah orang yang dengan berani menambah,
merubah atau mengurangi firman Tuhan, adalah orang yang bermoral baik ? Bisakah
diterima alasan moral kepada orang yang secara tidak langsung menyatakan Tuhan
telah tidak lengkap menginspirasikan firman-Nya untuk dikanonisasi orang-orang
pilihan-Nya di Nicea sehingga dia merasa lebih baik dari Tuhan dengan cara
menambal kekurangan Tuhan?
Lalu, masih salahkah bila kemudian
dengan berani al-Qur’an menyatakan bahwa wahyu-wahyu yang pernah diturunkan
kepada manusia sebelumnya telah berubah dan mengalami intervensi tangan manusia
sehingga merubah derajat keaslian dan kesuciannya ? Sekali lagi disini kita
tidak bermaksud untuk melecehkan keyakinan agama lain, namun kita mencoba
mengajak untuk bisa berpikir jernih dan jujur. Kebenaran harus diungkapkan
melalui pembuktian yang juga benar agar kebenaran yang memang hendak disampaikan
tadi tidak sekedar pembenaran ataupun tuduhan semata.
Sesungguhnya telah datang dari
Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka
manfa'atnya bagi diri sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran
itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya." - Qs. 6 al-An'am :104
0 komentar:
Post a Comment